MaknaAgung di Balik Bacaan I’tidal. Fikih Hamalatul Quran - November 8, 2021 0. Sami’allahu liman hamidah (سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ) Sebuah kalimat yang tidak lepas dari lisan seorang muslim. Kalimat yang dibaca berulang kali di dalam salat
Fikih I’tidal dalam Sholat Melakukan i’tidal dalam sholat tidaklah bisa dilakukan secara sembarangan. Tetapi Islam sendiri sudah mengaturnya dalam fikih. Berikut adalah beberapa fikih i’tidal dalam sholat yang perlu sahabat Dream perhatikan seperti dikutip dari Wajib Tuma’ninah sampai Punggung Lurus Saat melakukan i’tidal, yakni gerakan mengangkat badan setelah rukuk sampai berdiri kembali dengan posisi punggung yang lurus. Hal ini pun dijelaskan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari berikut “ Ketika Nabi saw mengangkat kepalanya dari rukuk untuk berdiri hingga setiap ruas tulang punggung berada di posisinya semula.” HR. Bukhari Mengangkat Tangan saat Bangun dari Rukuk Selain tuma’ninah sampai punggung lurus, selanjutnya juga disyariatkan untuk mengangkat tangan. Syariat ini pun dijelaskan dalam beberapa hadis. Seperti halnya dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari berikut “ Nabi saw biasanya ketika memulai sholat, ketika takbir untuk ruku’ dan ketika mengangkat kepala setelah rukuk, beliau mengangkat kedua tangannya setinggi pundaknya.” HR. Bukhari Selain itu juga ada hadis dari Malik bin Huwairits ra berikut “ Nabi saw ketika sholat beliau bertakbir dan mengangkat kedua tangannya. Ketika hendak rukuk, beliau mengangkat kedua tangannya. Dan ketika mengangkat kepalanya dari rukuk beliau mengangkat kedua tangannya.” HR. Al-Bukhari Meski begitu, perihal mengangkat tangan ini tidaklah diwajibkan. Karena ada dari sahabat Nabi yang tidak melakukannya. Salah satunya adalah Ibnu Umar ra yang diriwayatkan dalam hadis berikut “ Aku pernah sholat bermakmum pada Ibnu Umar ra, ia tidak pernah mengangkat kedua tangannya kecuali pada takbir yang pertama dalam sholat takbiratul ihram.” HR. Ath Thahawi dalam Syarh Ma’anil Atsar, 1357, dengan sanad yang shahih Membaca Tasmi’ saat Bangun dari Rukuk Selain itu juga ada bacaan tasmi’, yakni melafalkan “ sami’allahu liman hamidah” yang artinya “ Allah mendengar orang yang memuhi-Nya”. Kemudian membaca tahmid, yakni melafalkan “ rabbana walakal hamdu” yang artinya “ Ya Allah, segala puji hanya bagi-Mu”. Hal ini dijelaskan dalam hadis berikut “ Sesungguhnya imam itu diangkat untuk diikuti. Jika ia bertakbir maka bertakbirlah. Jika ia sujud maka sujudlah. Jika ia bangun dari rukuk atau sujud maka bangunlah. Jika ia mengucapkan sami’allahu liman hamidah. Maka ucapkanlah rabbana walakal hamdu. Jika ia sholat duduk maka sholatlah kalian sambil duduk semuanya.” HR. Bukhari dan Muslim Itulah penjelasan tentang bacaan doa i’tidal, syarat-syarat apa saja yang harus dilakukan saat i’tidal dan posisi tangan saat i’tidal. Dengan demikian, saat melakukan i’tidal dan melepas kedua tangan hukumnya adalah sunah. Meskipun ada yang bersedekap, maka hal tersebut bukan berarti bisa membatalkan sholatnya. Wallahu a’lam. AtTakmilah fi Ma’rifat at-Tsiqat wa ad-Dhu’fa wa al-Majahil (pelengkap dalam mengetahui perawi-perawi yang dipercaya, buku ini adalah rujukan dalam ilmu hadits serta mengetahui jarh wa ta’dil. Karya ini adalah gabungan dari dua karya imam dzahabi yaitu Tadzhibu al-Kamal fi Asma’i al-Rijal dan Mizan al-I’tidal fi Naqdi al-Rijal.

Rukun shalat yang ketujuh adalah i’tidal, yaitu posisi berdiri tegak lurus setelah melaksanakan ruku’. Tidak ada dalil baik dari Al-Qur’an maupun hadits yang mengisahkan tentang bagaimana Rasulullah ﷺ meletakkan tangan pada saat i'tidal apakah bersedekap atau melepaskannya? Terdapat beberapa hadits tentang kisah Rasul menaruh tangan di bawah dada, namun masing-masing konteksnya adalah saat Rasullullah ﷺ sedang berdiri sebelum ruku’. Di antara hadits yang menceritakan hal tersebut adalah pada waktu Wâil bin Hujr berkisah sebagaimana berikut iniأَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَيْهِ حِينَ دَخَلَ فِي الصَّلَاةِ كَبَّرَ، - وَصَفَ هَمَّامٌ حِيَالَ أُذُنَيْهِ - ثُمَّ الْتَحَفَ بِثَوْبِهِ، ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى، فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ أَخْرَجَ يَدَيْهِ مِنَ الثَّوْبِ، ثُمَّ رَفَعَهُمَا، ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ، فَلَمَّا قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَفَعَ يَدَيْهِ فَلَمَّا، سَجَدَ سَجَدَ بَيْنَ كَفَّيْهِ Artinya “Wâil bin Hujr melihat Rasulullah ﷺ mengangkat kedua tangannya saat memasuki shalat sembari takbîratul ihrâm. Hammâm memberikan ciri-ciri, posisi tangan Rasulullah saat mengangkat kedua tangannya adalah sejajar dengan kedua telinganya. Kemudian Rasulullah ﷺ memasukkan tangan ke dalam pakaiannya, menaruh tangan kanan di atas tangan kiri. Saat Rasulullah akan ruku’, ia mengeluarkan kedua tangannya dari pakaian lalu mengangkatnya, bertakbir sembari ruku’. Pada waktu ia mengucapkan samillâhu liman hamidah, Rasul mengangkat kedua tangannya. Saat sujud, ia sujud dengan kedua telapak tangannya.” HR Muslim 401 Hadits di atas tidak menunjukkan posisi tangan Rasulullah saat i'tidal, namun mengisahkan letak tangan pada waktu berdiri saja. Oleh karena itu kita perlu melihat bagaimana para ulama menggali lebih lanjut. Imam Ramli dalam karyanya Nihâyatul Muhtâj menjelaskan, yang disunnahkan dalam i'tidal adalah melepaskan tangan, tidak bersedekap atau menumpukkan tangan kanan di atas tangan kiri di bawah dada, sehingga orang yang bangun dari ruku’ setelah mengangkat kedua tangan sejajar dengan telinga, ia kemudian melepaskan kedua tangannya. Teks lengkapnya sebagai berikut وَقَوْلُهُ بَعْدَ التَّكْبِيرِ تَحْتَ صَدْرِهِ أَيْ فِي جَمْعِ الْقِيَامِ إلَى الرُّكُوعِ خَرَجَ بِهِ زَمَنُ الِاعْتِدَالِ فَلَا يَجْعَلُهُمَا تَحْتَ صَدْرِهِ بَلْ يُرْسِلُهُمَا سَوَاءٌ كَانَ فِي ذِكْرِ الِاعْتِدَالِ أَوْ بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنْ الْقُنُوتِArtinya “Menaruh kedua tangan di bawah dada, maksudnya kegiatan tersebut dilaksanakan pada semua posisi berdirinya orang shalat sampai ia akan ruku’. Jika akan ruku’ maka dilepas. Teks tersebut tidak berlaku pada saat berdiri i'tidal. Pada waktu i'tidal, janganlah menaruh kedua tangannya di bawah dadanya, namun lepaskan keduanya. Baik saat membaca dzikirnya i'tidal, atau bahkan setelah selesai qunut.” Syihabuddin ar-Ramli, Nihâyatul Muhtâj ilâ Syarhil Minhâj, [Dârul Fikr, Beirut, 1984, juz 1, halaman 549Senada dengan pendapat di atas, Syekh Al-Bakri yang terekam dalam kitab Iânatut Thâlibîn juga mengatakan hal yang sama. Hal ini bisa disimak dalam tulisannya berikutوَالْأَكْمَلُ أَنْ يَكُوْنَ ابْتِدَاءُ رَفْعِ الْيَدَيْنِ مَعَ ابْتِدَاءِ رَفْعِ رَأْسِهِ، وَيَسْتَمِرُّ إِلَى انْتِهَائِهِ ثُمَّ “Yang paling sempurna adalah saat mengangkat kedua tangan itu dimulai berbarengan dengan mengangkat kepala. Hal tersebut berjalan terus diangkat sampai orang selesai berdiri pada posisi sempurna. Setelah itu kemudian kedua tangan dilepaskan.” Abu Bakar bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi, Iânatut Thâlibin, [Dârul Fikr, 1997], juz 1, halaman 158Dengan demikian Syekh Al-Bakri mengajurkan agar melepaskan tangan setelah takbir, bukan menaruh di bawah dada. Dengan begitu, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada saat i’tidal yang disunnahkan adalah melepaskan kedua tangan. Adapun apabila yang bersedekap tidak sampai membatalkan shalat. Wallâhu a’lam. Ahmad Mundzir

A Ilmu Fiqh Tumbuhnya hukum-hukum Fiqh itu bersama-sama tumbuhnya agama Islam. Maka perwujudan hukum-hukum Fiqh dalam periode keduanya adalah terjadi dari hukum Allah SWT, dan Rasul-Nya, serta fatwa sahabat dan keputusannya. Jadi sumbernya ialah al-Quran, al-Sunnah dan Ijtihad para sahabat. Tetapi pada dua periode ini, hukum-hukum itu
Ada tiga ciri utama ajaran Ahlussunnah wal Jamaah atau kita sebut dengan Aswaja yang selalu diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya Pertama, at-tawassuth atau sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. Ini disarikan dari firman Allah SWTوَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian umat Islam umat pertengahan adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi ukuran penilaian atas sikap dan perbuatan manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi ukuran penilaian atas sikap dan perbuatan kamu sekalian. QS al-Baqarah 143. Kedua at-tawazun atau seimbang dalam segala hal, terrnasuk dalam penggunaan dalil 'aqli dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional dan dalil naqli bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits. Firman Allah SWTلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca penimbang keadilan supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. QS al-Hadid 25 Ketiga, al-i'tidal atau tegak lurus. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirmanيَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela kebenaran karena Allah menjadi saksi pengukur kebenaran yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. QS al-Maidah 8 Selain ketiga prinsip ini, golongan Ahlussunnah wal Jama'ah juga mengamalkan sikap tasamuh atau toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah SWTفَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى Maka berbicaralah kamu berdua Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS kepadanya Fir'aun dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut. QS. Thaha 44 Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS agar berkata dan bersikap baik kepada Fir'aun. Al-Hafizh Ibnu Katsir 701-774 H/1302-1373 M ketika menjabarkan ayat ini mengatakan, "Sesungguhnya dakwah Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS kepada Fir'aun adalah menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah. Hal itu dilakukan supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaedah". Tafsir al-Qur'anil 'Azhim, juz III hal 206. Dalam tataran praktis, sebagaimana dijelaskan KH Ahmad Shiddiq bahwa prinsip-prinsip ini dapat terwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut Lihat Khitthah Nahdliyah, hal 40-44 1. Akidah. a. Keseimbangan dalam penggunaan dalil 'aqli dan dalil naqli. b. Memurnikan akidah dari pengaruh luar Islam. c. Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid'ah apalagi kafir. 2. Syari'ah a. Berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Hadits dengan menggunanakan metode yang dapat dipertanggung­jawabkan secara ilmiah. b. Akal baru dapat digunakan pada masalah yang yang tidak ada nash yang je1as sharih/qotht'i. c. Dapat menerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki dalil yang multi-interpretatif zhanni. 3. Tashawwuf/ Akhlak a. Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam, selama menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam. b. Mencegah sikap berlebihan ghuluw dalam menilai sesuatu. c. Berpedoman kepada Akhlak yang luhur. Misalnya sikap syaja’ah atau berani antara penakut dan ngawur atau sembrono, sikap tawadhu' antara sombong dan rendah diri dan sikap dermawan antara kikir dan boros. 4. Pergaulan antar golongan a. Mengakui watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok berdasarkan unsur pengikatnya masing-masing. b. Mengembangkan toleransi kepada kelompok yang berbeda. c. Pergaulan antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan menghargai. d. Bersikap tegas kepada pihak yang nyata-nyata memusuhi agama Islam. 5. Kehidupan bernegara a. NKRI Negara Kesatuan Republik Indanesia harus tetap dipertahankan karena merupakan kesepakatan seluruh komponen bangsa. b. Selalu taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang dibuat, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama. c. Tidak melakukan pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah yang sah. d. Kalau terjadi penyimpangan dalam pemerintahan, maka mengingatkannya dengan cara yang baik. 6. Kebudayaan a. Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai dan diukur dengan norma dan hukum agama. b. Kebudayaan yang baik dan ridak bertentangan dengan agama dapat diterima, dari manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus ditinggal. c. Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih relevan al-­muhafazhatu 'alal qadimis shalih wal akhdu bil jadidil ashlah. 7. Dakwah a. Berdakwah bukan untuk menghukum atau memberikan vonis bersalah, tetapi mengajak masyarakat menuju jalan yang diridhai Allah SWT. b. Berdakwah dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang jelas. c. Dakwah dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang jelas, disesuaikan dengan kondisi dan keadaan sasaran Muhyidin Abdusshomad Pengasuh Pesantren Nurul Islam, Ketua PCNU Jember

HR Bukhari no.6251 dan Muslim no.397 di dalam Shahihnya dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu; HR. an-Nasai 2/240, Shahih; HR. al-Bukhari no.631 di dalam Shahihnya dari Sahabat Malik bin al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu; HR Abu Dawud no.61 di dalam Sunannya dari Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Shahih

Hukum I’tidal Dalam Shalat menjadi salah satu topik yang menarik untuk dibahas. I’tidal sendiri merupakan salah satu gerakan dalam sholat yang dilakukan setelah posisi ruku’. Para ulama menetapkan ruku’ sebagai rukun shalat dengan berdasarkan kepada sabda Rasulullah SAW kepada orang yang beliau ajari shalatثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًiArtinya “Kemudian ruku’lah sampai engkau tenang tuma’ninah dalam keadaan ruku’.” HR. Imam Bukhari.I’tidal sendiri merupakan salah satu gerakan wajib dalam sholat. Hal ini berdasarkan kepada adanya pendapat Abu Hurairah menceritakan, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memulai takbiratul \ ihram ketika berdiri tegak, kemudian takbir lagi ketika turun rukuk, kemudian membaca sami’allaahu liman hamidah’ ketika bangkit i’tidal” HR. BukhariAdapun beberapa ulama ada yang memikiki pendapat yang berbeda dimana ada yang mewajibkan bacaan tasmi’ ini, namun ada juga pendapat yang mensunnahkan hal tersebut. Namun, terdapat Pendapat yang kuat, mengenai bacaan tasmi’ ini wajib dibaca oleh imam, makmum, maupun orang yang shalat sendirian. Sifat shalat nabi shallallahu alaihi wa sallam, hlm. 118Berdsarkan pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa hukum i’tidal dalam sholat merupakan wajib hukumnya ditambah dengan pendapat kuat mengenai kewajiban bacaan Tasmi’ pada saat dalam posisi i’tidal. Hal ini berdasarkan kepada hadist beikut ini, dimana Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengangkat tangan ketika berdiri i’tidal, dengan cara yang sama ketika takbiratul ihram. HR. Bukhari dan Muslim.Namun, bukan hanya perihal hukum I’tidal saja, terlepas dari hal tersebut gerakan i’tidal juga harus dilakukan secara benar dan sesuai dengan apa yang disyariatkan. Terdapat juga hadist yang menganjurkan untuk melakukan gerakan i’tidal dalam waktu yang agak lama sebagimana dalam cara mensyukuri nikmat allah . Hal ini adalah sekaligus untuk sedikit memperlama gerakan sholat, sebab sebagimana yang sering kita lihat dan lakukan adalah malah melakukan gerakan I’tidal dengan anjuran untuk memperlama i’tidal sebagaimana yang dilakukan ketika rukuk memiliki dasar hukum sebagaimana hukum menghina lafadz Allah dan hukum mengajak orang masuk islam .Al-Barra’ bin Azib radhiyallahu anhu, mengatakan “Ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat, sujud beliau, rukuk beliau, duduk diantara dua sujud, semuanya hampir sama panjangnya.” HR. Abu DaudSelain memperlama I’tidal, dianjurkan juga agar melakukan I’tidal dalam posisi badan yang lurus. Hal ini berdasarkan kepada sabda Nabi shallallahu’ alaihi wasallam bersabda kepadanyaثم اركَعْ حتى تَطمَئِنَّ راكِعًا، ثم ارفَعْ حتى تستوِيَ قائِمًا“… lalu rukuk dengan tuma’ninah, kemudian angkat badanmu hingga lurus” HR. Bukhari 757, Muslim 397.Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ثم اركَعْ حتى تَطْمَئِنَّ راكعًا ، ثم ارْفَعْ حتى تَعْتَدِلَ قائمًا“… kemudian rukuk sampai tuma’ninah dalam rukuknya, kemudian mengangkat badannya sampai berdiri lurus” HR. Bukhari no. 793, Muslim no. 397.Berdasarkan kepada dua hadist diatas, maka kewajiban untuk melakukan I’tidal dalam posisi badan lurua adalah sangat sangat dianjurkan. Bahkan Allah Azza wa Jallla dan Rasul-Nya shallallahu’ alaihi wasallam mencela orang yang tidak melakukan i’tidal sampai lurus punggungnya padahal ia mampu seperti dalam manfaat ucapan alhamdulillah . Baik karena terlalu cepat shalatnya, terburu-buru atau karena kurang perhatian dalam urusan shalatnya. Dalam hadits dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu’ alaihi wasallam bersabdaإن الله لا ينظرُ يوم القيامة إلى مَن لا يقيم صُلبَه بين ركوعه وسجودِه“Sesungguhnya di hari kiamat Allah tidak akan memandang orang yang tidak meluruskan tulang sulbinya di antara rukuk dan sujud” HR. Tirmidzi no. 2678, Abu Ya’la dalam Musnad-nya no. 3624, Ath Thabrani dalam Al Ausath Dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah no. 2536.Adanya korelasi untuk memperlama gerakan I’tidal adalah upaya agar dapat membuat badan dalam posisi tegak lurus. Dengan demikian maka tentunya hal ini akan menjadikan gerakan I’tidal sesuai dengan apa yanh dianjurkan. Oleh sebab itu juga dengan hal ini, maka akan dapat menghindari seseorang dalam melakukan gerakan sholat dengan terburu buru. Sehingga ibadah sholat anda, akan berlangsung dengan lebih Ali bin Syaiban radhiallahu’anhu, beliau mengatakanخرَجنا حتى قدِمنا على رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ ، فبايَعناهُ وصلَّينا خلفَهُ ، فلَمحَ بمؤخَّرِ عينِهِ رجلًا ، لا يقيمُ صلاتَهُ ، – يعني صلبَهُ – في الرُّكوعِ والسُّجودِ ، فلمَّا قضى النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ الصَّلاةَ ، قالَ يا معشرَ المسلِمينَ لا صلاةَ لمن لا يقيمُ صلبَهُ في الرُّكوعِ والسُّجودِ“Kami melakukan perjalanan hingga bertemu Rasulullah shallallahu’ alaihi wasallam. Kemudian kami berbai’at kepada beliau lalu shalat bersama beliau. Ketika shalat, beliau melirik kepada seseorang yang tidak meluruskan tulang sulbinya ketika rukuk dan sujud. Ketika beliau selesai shalat, beliau bersabda Wahai kaum Muslimin, tidak ada shalat bagi orang yang tidak meluruskan tulang sulbinya di dalam rukuk dan sujud” HR. Ibnu Majah no. 718, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah.Dalam riwayat lain, dari Abu Mas’ud Al Badri radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu’ alaihi wasallam bersabdaلا تُجْزِىءُ صلاةٌ لا يُقيم ُالرجلُ فيها يعني صُلْبَهُ في الركوعِ والسجودِ“Tidak sah shalat seseorang yang tidak menegakkan tulang sulbinya ketika rukuk dan sujud” HR. Tirmidzi no. 265, Abu Daud no. 855, At Tirmidzi mengatakan “hasan shahih”.Ibnul Qayyim rahimahullah setelah membawakan riwayat Abu Mas’ud ini beliau mengatakanهذا نص صريح في أن الرفع من الركوع وبين السجود الاعتدال فيه والطمأنينة فيه ركن لا تصح الصلاة إلا به“Hadits ini adalah dalil tegas bahwa meluruskan punggung dan tuma’ninah dalam i’tidal itu adalah rukun dalam shalat, tidak sah shalat kecuali harus demikian” Ash Shalatu wa Ahkamu Tarikiha, 1/122.Hadist hadist diatas menegaskan bahwa meluruskan posisi punggung saat I’tidak merupakan sebuah keharusan. Sehingga kemudian munculkan hadist yang mencela apabila seorang muslim tidak meluruskan posisi punggung saat sedang melakukan posisi I’tidal . Adapun yang dimaksud dengan Tuma’ninah adalah dimana saat I’tidal kita dianjurkan untuk berada dalam posisi diam sejenak dalam waktu yang agak sekali muslim yang mengabaikan tentang perkara ini. Bahkan mereka hanya berfikir bahwa cukup dengan shalat saja sudah dapat menggugurkan kewajiban. Namun tentu saja sebagai ibadah yang wajib shalat didalamnya terdapat kaidah kaidah yang harus dilakukan . Dengan demikian maka tidak hanya dapat menggugurkan kewajiban saja namun juga akan meraih kesempurnaan dalam ibadah sebagaimana cara menghadapi musibah dalam islam .Gerakan I’tidak juga tidak hanya berlaku dalam sholat wajib. Namun juga dalam shalat sunnah gerakan I’tidal juga harus dilakukan secara benar. Dengan demikian maka tentu anda akan mendapatkan pahala yang berlimpah. Selain karena pelaksanaan sholatnya sendiri dan tentunya juga atas kebenaran dalam kaidah kaidah pelaksanaan sholat termasuk saat melakukan I’tidal yang sering kali banyak dilakukan itulah tadi mengenai hukum I’tidal dalam sholat. Semoga dapat bermanfaat.

Perkembangan tersebut membuat majunya logika berpikir para ulama.dengan mempelajari Qawaid Fiqiyah banyak manfaat yang bisa diambil. Salah satunya yakni dapat mempermudah dalam memahami ilmu fiqih dan melafalkannya. Seperti satu cara mempermudah dalam menghafal pelajaran adalah membuat ringkasannya ketika akan menghadapi ujian.
I’tidal setelah bangkit dari rukuk adalah salah satu rukun shalat. Dalilnya adalah hadits dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu yang dikenal dengan hadits al musi’u shalatuhu, yaitu tentang seorang shahabat yang belum paham cara shalat, hingga Nabi shallallahu’ alaihi wasallam mengajarkan bagaimana cara shalat yang benar dan sah. Nabi shallallahu’ alaihi wasallam bersabda kepadanyaثم اركَعْ حتى تَطمَئِنَّ راكِعًا، ثم ارفَعْ حتى تستوِيَ قائِمًا“… lalu rukuk dengan tuma’ninah, kemudian angkat badanmu hingga lurus” HR. Bukhari 757, Muslim 397.Dalam riwayat lainثم اركَعْ حتى تَطْمَئِنَّ راكعًا ، ثم ارْفَعْ حتى تَعْتَدِلَ قائمًا“… kemudian rukuk sampai tuma’ninah dalam rukuknya, kemudian mengangkat badannya sampai berdiri lurus” HR. Bukhari no. 793, Muslim no. 397.Wajib Tuma’ninah dalam I’tidal Hingga Punggung LurusI’tidal adalah gerakan mengangkat badan setelah dari rukuk hingga berdiri kembali dengan punggung dalam keadaan lurus. Dalam hadits Abu Humaid As Sa’idi radhiallahu’anhu, beliau mengatakanفإِذا رفَع رأسه استوى قائماً حتى يعود كلّ فقار مكانه“Ketika Nabi shallallahu’ alaihi wasallam mengangkat kepalanya dari rukuk untuk berdiri hingga setiap ruas tulang punggung berada di posisinya semula” HR. Bukhari no. 828.Allah Azza wa Jallla dan Rasul-Nya shallallahu’ alaihi wasallam mencela orang yang tidak melakukan i’tidal sampai lurus punggungnya padahal ia mampu. Baik karena terlalu cepat shalatnya, terburu-buru atau karena kurang perhatian dalam urusan shalatnya. Dalam hadits dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu’ alaihi wasallam bersabdaإن الله لا ينظرُ يوم القيامة إلى مَن لا يقيم صُلبَه بين ركوعه وسجودِه“Sesungguhnya di hari kiamat Allah tidak akan memandang orang yang tidak meluruskan tulang sulbinya di antara rukuk dan sujud” HR. Tirmidzi no. 2678, Abu Ya’la dalam Musnad-nya no. 3624, Ath Thabrani dalam Al Ausath Dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah no. 2536.Dari Ali bin Syaiban radhiallahu’anhu, beliau mengatakanخرَجنا حتى قدِمنا على رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ ، فبايَعناهُ وصلَّينا خلفَهُ ، فلَمحَ بمؤخَّرِ عينِهِ رجلًا ، لا يقيمُ صلاتَهُ ، – يعني صلبَهُ – في الرُّكوعِ والسُّجودِ ، فلمَّا قضى النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ الصَّلاةَ ، قالَ يا معشرَ المسلِمينَ لا صلاةَ لمن لا يقيمُ صلبَهُ في الرُّكوعِ والسُّجودِ“Kami melakukan perjalanan hingga bertemu Rasulullah shallallahu’ alaihi wasallam. Kemudian kami berbai’at kepada beliau lalu shalat bersama beliau. Ketika shalat, beliau melirik kepada seseorang yang tidak meluruskan tulang sulbinya ketika rukuk dan sujud. Ketika beliau selesai shalat, beliau bersabda Wahai kaum Muslimin, tidak ada shalat bagi orang yang tidak meluruskan tulang sulbinya di dalam rukuk dan sujud” HR. Ibnu Majah no. 718, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah.Dalam riwayat lain, dari Abu Mas’ud Al Badri radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu’ alaihi wasallam bersabdaلا تُجْزِىءُ صلاةٌ لا يُقيم ُالرجلُ فيها يعني صُلْبَهُ في الركوعِ والسجودِ“Tidak sah shalat seseorang yang tidak menegakkan tulang sulbinya ketika rukuk dan sujud” HR. Tirmidzi no. 265, Abu Daud no. 855, At Tirmidzi mengatakan “hasan shahih”.Ibnul Qayyim rahimahullah setelah membawakan riwayat Abu Mas’ud ini beliau mengatakanهذا نص صريح في أن الرفع من الركوع وبين السجود الاعتدال فيه والطمأنينة فيه ركن لا تصح الصلاة إلا به“Hadits ini adalah dalil tegas bahwa meluruskan punggung dan tuma’ninah dalam i’tidal itu adalah rukun dalam shalat, tidak sah shalat kecuali harus demikian” Ash Shalatu wa Ahkamu Tarikiha, 1/122.Mengangkat Tangan Ketika Bangun dari RukukDalil-dalil mengenai disyariatkannya raf’ul yadain mengangkat tangan dalam hal ini sangat banyak. Diantara dalilnya hadits dari Ibnu Umar radhiallahu’anhuma,أنَّ النبيَّ صلّى الله عليه وسلّم كان يرفعُ يديه حذوَ مَنكبيه؛ إذا افتتح الصَّلاةَ، وإذا كبَّرَ للرُّكوع، وإذا رفع رأسه من الرُّكوع“Nabi shallallahu’ alaihi wasallam biasanya ketika memulai shalat, ketika takbir untuk ruku’ dan ketika mengangkat kepala setelah ruku’, beliau mengangkat kedua tangannya setinggi pundaknya” HR. Bukhari hadits dari Malik bin Huwairits radhiallahu’anhu,إذا صلَّى كبَّر ورفَع يدَيهِ، وإذا أراد أن يركَع رفَع يدَيهِ، وإذا رفَع رأسَه من الرُّكوعِ رفَع يدَيهِ“Nabi shallallahu’ alaihi wasallam ketika shalat beliau bertakbir dan mengangkat kedua tangannya. Ketika hendak rukuk, beliau mengangkat kedua tangannya. Dan ketika mengangkat kepalanya dari rukuk beliau mengangkat kedua tangannya” HR. Al Bukhari, 737.Namun mengangkat tangan ini juga tidak sampai wajib hukumnya karena sebagian sahabat Nabi terkadang meninggalkannya. Diantaranya Ibnu Umar radhiyallahu’anhu, yang meriwayatkan hadits tentang raf’ul yadain, beliau terkadang meninggalkannya. Dari Mujahid, ia berkataصَلَّيْتُ خَلْفَ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فَلَمْ يَكُنْ يَرْفَعُ يَدَيْهِ إِلَّا فِي التَّكْبِيرَةِ الْأُولَى مِنَ الصَّلَاةِ“aku pernah shalat bermakmum pada Ibnu Umar radhiallahu anhuma, ia tidak pernah mengangkat kedua tangannya kecuali pada takbir yang pertama dalam shalat takbiratul ihram” HR. Ath Thahawi dalam Syarh Ma’anil Atsar, 1357, dengan sanad yang shahih.Membaca Tasmi’ Ketika Bangun dari RukukDalam rukuk ada bacaan tasmi’, yaitu mengucapkan sami’allahu liman hamidah artinya “Allah mendengar orang yang memuji-Nya”. Dan ada bacaan tahmid, yaitu mengucapkan rabbana walakal hamdu artinya “Ya Allah, segala puji hanya bagi-Mu”.Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu’ alaihi wasallam bersabdaإِنّما جُعل الإِمام ليؤتمّ به، فإِذا كبّر فكبِّروا، وإِذا سجد فاسجدوا، وإِذا رفع فارفعوا، وإِذا قال سمع الله لمن حمده، فقولوا ربّنا ولك الحمد، وإِذا صلّى قاعداً فصلّوا قعوداً أجمعُون“Sesungguhnya imam itu diangkat untuk diikuti. Jika ia bertakbir maka bertakbirlah. Jika ia sujud maka sujudlah. Jika ia bangun dari rukuk atau sujud maka bangunlah. Jika ia mengucapkan sami’allahu liman hamidah. Maka ucapkanlah rabbana walakal hamdu. Jika ia shalat duduk maka shalatlah kalian sambil duduk semuanya” HR. Bukhari no. 361, Muslim no. 411.Dalam hadits ini disebutkan dua bacaan yaitu tasmi’ sami’allahu liman hamidah dan tahmid rabbana walakal hamdu. Di sini ulama berselisih pendapat mengenai hukum tasmi’ dan tahmid menjadi 2 pendapatPendapat pertama Ulama Hambali berpendapat bahwa tasmi’ dan tahmid hukumnya wajib bagi imam dan munfarid. Namun bagi makmum hanya wajib tahmid kedua Jumhur ulama berpendapat bahwa tasmi’ dan tahmid hukumnya sunnah. Namun mereka berbeda pendapat mengenai rinciannyaUlama Malikiyah dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa imam hanya disunnahkan membaca tasmi’ dan tidak perlu membaca tahmid. Sedangkan makmum disunnahkan membaca tahmid saja dan tidak perlu membaca tasmi’. Dan munfarid disunnahkan membaca Yusuf Al Hanafi dan juga satu riwayat pendapat dari Abu Hanifah, mengatakan imam dan munfarid disunnahkan membaca tasmi’ dan tahmid sekaligus. Dan makmum hanya disunnahkan membaca tasmi’ Syafi’iyyah berpendapat bahwa imam, makmum dan munfarid disunnahkan membaca tasmi’ dan tahmid Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 27/92-94.Wallahu a’lam, yang rajih adalah pendapat pertama, yaitu tasmi’ dan tahmid hukumnya wajib bagi imam dan munfarid, dan makmum hanya wajib tahmid. Inilah pendapat yang dikuatkan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dan Syaikh Abdul Aziz bin hadits dari Rifa’ah bin Rafi radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu’ alaihi wasallam bersabdaإنَّها لا تتمُّ صلاةُ أحدِكم حتَّى يُسبِغَ الوضوءَ كما أمَره اللهُ“Tidak sempurnah shalat seseorang hingga ia menyempurnakan wudhunya sebagaimana diperintahkan oleh Allah…”Lalu dalam hadits yang panjang ini disebutkanثم يُكبِّرُ ويركَعُ حتَّى تطمئِنَّ مفاصِلُه وتسترخيَ ثم يقولُ سمِعَ اللهُ لِمَن حمِدَه“Kemudian bertakbir dan rukuk sampai tuma’ninah, kemudian meluruskan badannya sambil mengucapkan sami’allahu liman hamidah” HR. Abu Daud no. 857, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud.Maka hadits ini menunjukkan wajibnya ucapan tasmi, tidak sempurna shalat berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu, beliau mengatakanان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم إذا قامَ إلى الصَّلاةِ يُكبِّرُ حينَ يقومُ، ثم يُكبِّرُ حينَ يركَعُ، ثم يقولُ سمِعَ اللهُ لِمَن حَمِدَه، حين يرفَعُ صُلْبَه مِن الرُّكوعِ، ثم يقولُ وهو قائمٌ ربَّنا ولك الحمدُ“Rasulullah shallallahu’ alaihi wasallam ketika berdiri untuk shalat beliau bertakbir ketika berdiri, dan bertakbir ketika rukuk kemudian mengucapkan sami’allahu liman hamidah. Kemudian bangun dari rukuk hingga meluruskan tulang sulbinya kemudian mengucapkan rabbana walakal hamdu” HR. Bukhari no. 789, Muslim 392.Maka hadits ini tegas menunjukkan bahwa imam dan munfarid membaca tasmi dan tahmid. Karena Nabi shallallahu’ alaihi wasallam bersabdaصلُّوا كما رأيتموني أُصلِّي“Shalatlah sebagaimana kalian melihatku shalat” HR. Bukhari no. 631.Adapun mengenai makmum, maka yang wajib hanya mengucapkan tahmid, berdasarkan zahir hadits Anas bin Malik di atasوإِذا قال سمع الله لمن حمده، فقولوا ربّنا ولك الحمد“Jika ia imam mengucapkan sami’allahu liman hamidah. Maka ucapkanlah rabbana walakal hamdu” HR. Bukhari no. 361, Muslim no. 411.Lafadz-lafadz TahmidPertama rabbana walakal hamduSebagaimana dalam hadits Anas bin Malik dan Abu Hurairah di rabbana lakal hamduDari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, beliau mengatakanإنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم قال إذا قال الإمامُ سمِعَ اللهُ لِمَن حمِدَه، فقولوا ربَّنا لك الحمدُ؛ فإنَّه مَن وافَقَ قولُه قولَ الملائكةِ، غُفِرَ له ما تقدَّمَ مِن ذَنبِه“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda jika imam mengucapkan sami’allahu liman hamidah, maka ucapkanlah rabbana lakal hamdu. Barangsiapa yang ucapannya tersebut bersesuaian dengan ucapan Malaikat, akan diampuni dosa-dosanya telah lalu” HR. Bukhari no. 796, Muslim no. 409.Ketiga Allahumma rabbana lakal hamduDari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, beliau mengatakanإنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم قال إذا قال الإمامُ سمِعَ اللهُ لِمَن حمِدَه، فقولوا اللهمَّ ربَّنا لك الحمدُ؛ فإنَّه مَن وافَقَ قولُه قولَ الملائكةِ، غُفِرَ له ما تقدَّمَ مِن ذَنبِه“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda jika imam mengucapkan sami’allahu liman hamidah, maka ucapkanlah Allahumma rabbana lakal hamdu. Barangsiapa yang ucapannya tersebut bersesuaian dengan ucapan Malaikat, akan diampuni dosa-dosanya telah lalu” HR. Bukhari no. 796, Muslim no. 409.Ke-empat Allahumma rabbana walakal hamduDari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau mengatakanان النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم إذا قال سمِعَ اللهُ لِمَن حمِدَه، قال اللهمَّ ربَّنا ولك الحمدُ، وكان النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم إذا ركَع، وإذا رفَع رأسَه يُكبِّرُ، وإذا قام مِن السَّجدتينِ قال اللهُ أكبَرُ“Rasulullah shallallahu’ alaihi wasallam jika mengucapkan sami’allahu liman hamidah, maka beliau mengucapkan Allahumma rabbana walakal hamdu. Dan beliau jika rukuk dan mengangkat kepalanya, beliau bertakbir. Dan ketika bangun dari dua sujudnya beliau mengucapkan Allahu Akbar” HR. Bukhari no. 795, Muslim no. 392.Tambahan Doa dalam TahmidDianjurkan juga ketika i’tidal, untuk membaca doa tambahan setelah membaca tahmid. Ada beberapa doa tambahan setelah tahmid yang shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi WasallamPertama, dari Rifa’ah bin Rafi radhiallahu’anhuكنَّا يومًا نُصلِّي وراءَ النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، فلمَّا رفَع رأسَه من الرَّكعةِ، قال سمِعَ اللهُ لِمَن حمِدَه، قال رجلٌ وراءَه ربَّنا ولك الحمدُ حمدًا كثيرًا طيِّبًا مبارَكًا فيه، فلمَّا انصرَف، قال مَنِ المتكلِّمُ؟ قال أنا، قال رأيتُ بِضعَةً وثلاثينَ مَلَكًا يبتَدِرونها، أيُّهم يكتبُها أولُ“Kami dahulu shalat bermakmum kepada Nabi shallallahu’ alaihi wasallam. Ketika beliau mengangkat kepada dari rukuk, beliau mengucapkan sami’allahu liman hamidah. Kemudian orang yang ada di belakang beliau mengucapkan robbanaa walakal hamdu, hamdan katsiiron mubaarokan fiihi segala puji hanya bagiMu yaa Rabb. Pujian yang banyak, yang baik lagi penuh keberkahan. Ketika selesai shalat, Nabi bertanya Siapa yang mengucapkan doa tadi?’ Lelaki tadi menjawab Saya’. Nabi bersabda Aku tadi melihat tiga puluh lebih malaikat berebut untuk saling berusaha terlebih dahulu menulis amalan tersebut’.” HR. Bukhari no. 799.Kedua, dari Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu’anhu, ia berkataكان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، إذا رفَعَ ظهرَه مِن الرُّكوعِ، قال سمِعَ اللهُ لِمَن حمِدَه، اللهمَّ ربَّنا لك الحمدُ، مِلْءَ السَّمواتِ، ومِلْءَ الأرضِ، ومِلْءَ ما شِئتَ مِن شيءٍ بعدُ“Biasanya Rasulullah shallallahu’ alaihi wasallam jika mengangkat punggungnya dari rukuk beliau mengucapkan sami’allohu liman hamidah allohumma robbanaa lakal hamdu mil-as samaawaati wa mil-al ardhi wa mil-a maa syi’ta min syai-in ba’du Allah mendengar orang yang memuji-Nya. Ya Allah segala puji bagi-Mu, pujian sepenuh langit, sepenuh bumi, sepenuh apa yang Engkau inginkan lebih dari itu semua” HR. Muslim no. 476.Ketiga, dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu’anhu, ia berkataان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم إذا رفَع رأسَه مِن الرُّكوعِ قال ربَّنا لك الحمدُ، مِلْءَ السَّمواتِ والأرضِ، ومِلْءَ ما شِئتَ مِن شيءٍ بعدُ، أهلَ الثَّناءِ والمجدِ، أحقُّ ما قال العبدُ، وكلُّنا لك عبدٌ، اللهمَّ لا مانعَ لِما أعطَيتَ، ولا مُعطيَ لِما منَعتَ، ولا ينفَعُ ذا الجَدِّ منك الجَدُّ“Biasanya Rasulullah shallallahu’ alaihi wasallam jika mengangkat kepalanya dari rukuk beliau mengucapkan sami’allohu liman hamidah allohumma robbanaa lakal hamdu mil-as samaawaati wa mil-al ardhi wa mil-a maa syi’ta min syai-in ba’du, ahlats tsaa-i wal majdi, ahaqqu maa qoolal abdu, wa kulluna laka abdun, Alloohumma laa maani’a limaa a’thoyta, wa laa mu’thiya limaa mana’ta, wa laa yanfa’u dzal jaddi minkal jaddu Allah mendengar orang yang memujidnya. Ya Allah segala puji bagiMu, pujian sepenuh langit, sepenuh bumi, sepenuh apa yang Engkau inginkan lebih dari itu semua, wahai Dzat yang memiliki semua pujian dan kebaikan. Demikianlah yang paling berhak diucapkan oleh setiap hamba. Dan setiap kami adalah hambaMu. Ya Allah tidak ada yang bisa menghalangi apa yang Engkau berikan. Dan tidak ada yang bisa memberikan apa yang Engkau halangi. Dan segala daya upaya tidak bermanfaat kecuali dengan izinMu, seluruh kekuatan hanya milikMu” HR. Muslim no. 477.Keutamaan Tasmi’ dan Tahmid dalam ShalatTerdapat keutamaan khusus bagi orang yang mengucapkan tahmid ketika i’tidal. Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu, beliau mengatakanإنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم قال إذا قال الإمامُ سمِعَ اللهُ لِمَن حمِدَه، فقولوا ربَّنا لك الحمدُ؛ فإنَّه مَن وافَقَ قولُه قولَ الملائكةِ، غُفِرَ له ما تقدَّمَ مِن ذَنبِه“Rasulullah shallallahu’ alaihi wasallam bersabda Jika imam mengucapkan sami’allahu liman hamidah, maka ucapkanlah rabbana lakal hamdu. Barangsiapa yang ucapannya tersebut bersesuaian dengan ucapan Malaikat, akan diampuni dosa-dosanya telah lalu’.” HR. Bukhari no. 796, Muslim no. 409.Al Khathabi rahimahullah menjelaskanهذا دلالة على أن الملائكة يقولون مع المصلي هذا القول ويستغفرون ويحضرون بالدعاء والذكر“Hadits ini adalah dalil bahwa Malaikat mengucapkan ucapan tersebut bersamaan dengan pengucapan orang yang shalat. Dan mereka memintakan ampunan serta hadir di sana untuk berdoa dan berdzikir.” Ma’alimus Sunan, 1/209.Dan maksud dari “bersesuaian dengan ucapan Malaikat” adalah tahmid diucapkan setelah imam mengucapkan tasmi’. Ali Al Qari menjelaskanمن وافق قوله وهو قوله ربنا لك الحمد، بعد قول الإمام سمع الله لمن حمده،. قول الملائكة أي في الزمان. غفر له ما تقدم من ذنبه أي من الصغائر“Barangsiapa yang ucapannya tersebut rabbana lakal hamdu diucapkan setelah imam mengucapkan sami’allahu liman hamidah bersesuaian dengan ucapan Malaikat dari sisi waktu pengucapannya maka akan diampuni dosa-dosanya telah lalu, yaitu dosa-dosa kecil” Mirqatul Mafatih, 3/190.Demikian pembahasan ringkas mengenai fikih i’tidal. Semoga bermanfaat. . 433 402 58 406 273 387 165 196

dalam ilmu fiqih i tidal adalah